Sekali-sekali terdengar
petir bersabung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng
Gunung Merapi. Hujan di luar seakan-akan tercurah dari langit. Agung Sedayu
masih duduk menggigil di atas amben bambu. Wajahnya menjadi kian pucat. Udara sangat
dingin dan suasana sangat mencemaskan.
“Aku akan berangkat.”
Tiba-tiba tedengar suara kakaknya, Untara, dengan nada rendah.
Agung Sedayu mengangkat
wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar, ia berkata, “Jangan, Kakang jangan
berangkat sekarang.”
“Tak ada waktu,” sahut
kakaknya, “Sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat kenyataan
menjadi gila dan liar. Aku harus menghubungi Paman Widura di Sangkal Putung.
Kalau tidak, korban akan berjatuhan. Anak-anak Paman Widura akan mati tanpa
arti. Serangan itu akan datang demikian tiba-tiba.”
“Tidakkah ada orang
lain yang dapat menyampaikan berita itu?” potong adiknya.
“Tidak ada orang lain,”
sahut kakaknya.
“Tetapi…”, bibir Sedayu
gemetar.
“Aku harus pergi.”
Untara segera bangkit. Tetapi tangan adiknya cepat-cepaat menggapai kainnya.
“Jangan, jangan…”
Adiknya berteriak, “Aku takut.”
Untara menarik napas
panjang. Katanya, “Kau hanya akan berada di rumah ini sendirian malam. Besok kau
pergi ke Banyu Asri. Kau akan tinggal di sana sampai aku pulang.”
“Aku takut, justru malam
ini,” sahut adiknya, “Bagaimana kalau laskar yang liar itu datang kemari?”
“Mereka tak akan kemari,” jawab kakaknya, “Aku
tahu pasti. Mereka akan meyergap Paman Widura. Karena itu aku harus pergi.”
“Tidak… tidak.” Mata Sedayu
mulai basah. Dan akhirnya dari matanya itu melelehkan air mata.
Sekali lagi, Untaa
menarik napas panjang-panjang. Tanpa sesadarnya, ia terlempar kembali, duduk di
samping adiknya. Hatinya menjadi bingung. Ia tidak dapat berpangku tangan
terhadap laskar Widura yang sedang terancam bahaya. Tetapi adiknya benar-benar
penakut. Anak yang telah mendekati usia 18 tahun itu sama sekali menggantungkan
dirinya kepada orang lain. Sepeninggal ayahnya beberapa tahun yang lampau dan
ibunya yang baru beberapa bulan, maka anak itu hampir tidak pernah berpisah
darinya. Apalagi dalam kekalutan keadaan seperti saat itu. Sehingga dengan
demikian Untara merasa seakan-akan memeilihara anak bayi.
“Sedayu…” katanya
kemudian, “Umurmu telah hampir 18 tahun. Dalam usia itu, Adipati Pajang yang
dahulu bernama Mas Karebet, telah menggemparkan Demak, dan sekarang dalam usia
yang muda pula, Sutawijaya berhasil melawan Penangsang yang perkasa.”
“Aku bukan mereka,”
jawab Sedayu.
(Bersambung)
Sumber: Kedaulatan Rakyat, Halaman 27. Selasa Wage 19 Februari 2013