|
REDAM (Remaja dan Pemuda Mesjid) Community Desa Sumber, FORTANA (Forum Tanggap Bencana), saat mengadakan buka bersama di Balai Desa Sumber. 13 Agustus 2011. (Foto: http://bayangsepi.blogspot.com) |
Setiap orang berhak untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya yang benar. Namun, dalam waktu yang sama, kita juga harus menghormati jika orang lain berpikiran berbeda dengan kita. Bukankah, perbedaan itu sebuah realitas sosial yang tak terbantahkan?
Haruskah kita bermusuhan karena berbeda pendapat? Haruskah kita menghalalkan darah saudara kita sendiri karena kita berbeda agama? Bukankah berlabuh pada satu agama atau keyakinan tertentu merupakan kebebasan dasar setiap manusia? Bukankah pluralitas itu juga sunnatullah? Lalu, bagaimanakah seharusnya kita bersikap secara benar terhadap kenyataan pluralitas di Tanah air ini?
“Bersikap Toleran,” bahwa toleransi keniscayaan sosial bagi seluruh umat beragama dalam menata kehidupan bersama. Namun, banyak diantara mereka masih memberi catatan, boleh, asal tidak ikut melakukan ibadah yang berbeda. “Bagaimanakah sebenarnya Islam memandang toleransi dalam beragama?”
Toleransi di mata Islam. Toleransi, dalam bahasa Arab, disebut al-tasamuh. Sikap terbuka untuk rela menerima dan merawat keberbedaan dan keragaman kehidupan. Sikap sedia untuk menghormati atau menerima pendirian orang lain yang berbeda dari keyakinan kita sendiri. Karena, persoalan keyakinan adalah hak individu dan Islam mengajarkan untuk menghargai keyakinan orang, terlepas apakah sejalan dengan ajaran Islam ataukah tidak. Dalam penuturan Al-Quran, Tuhanpun tidak memaksa agar manusia beriman dan sujud kepada-Nya.
Toleransi adalah bahasa Arab, disebut Al-tasamuh. Sikap terbuka untuk rela menerima dan merawat keberbedaan dan keragaman kehidupan. Sikap sedia untuk menghormati atau menerima pendirian orang lain yang berbeda dari keyakinan kita sendiri.
laa ikraaha fii ddiini qad tabayyana rrusydu mina lghayyi faman yakfur biththaaghuuti wayu/min bilaahi faqadi istamsaka bil'urwati lwutsqaa laa infishaama lahaa walaahu samii'un 'aliim
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS, Al-Baqarah/ 2:256). Bukankah, tidak sulit bagi Tuhan jika ia berkehendak ingin menjadikan umat dalam satu agama atau bangsa? Namun, toh ia tidak menjadikan umat manusia menjadi satu. Malah, Tuhan sengaja menciptakan keanekaragaman agar manusia saling mengakui eksistensi masing-masing (lita’arafuu).
yaa ayyuhaa nnaasu innaa khalaqnaakum min dzakarin wauntsaa waja'alnaakum syu'uuban waqabaa-ila lita'aarafuu inna akramakum 'indallaahi atqaakum innallaaha 'aliimun khabiir
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Oleh sebab itu, perbedaan adalah realitas sosial yang tidak terbantahkan. Untuk itulah, mengapa begitu penting bersikap toleran antar sesama umat manusia. Dengan sikap toleranlah, kita akan menumbuhkan sikap memahami pihak lain, bukan membencinya. Maka, tak perlu takut bertoleransi, karena toleransi tidak akan membuat kita kafir. Toleransi berbeda dengan konversi (pindah) agama. Toleransi juga bukan murtad dari agama. Toleransi adalah ruang dimana agama saling menyapa melalui umat masing-masing. Toleransi menciptakan suasana agama yang disebut dan dijelaskan dengan bahasa dan ucapan yang berbeda.
Ya, toleransi akan menghapus tirai yang menyekat kita. Toleransi akan merubuhkan dinding yang membatasi kita. Dan, ketika tirai sudah tersingkap dan dinding telah kita dengan identitas dan simbol masing-masing. Dengan begitu, kita tidak perlu merasa terganggu ketika melihat orang lain melakukan ibadah berbeda dengan kita.
Namun, entah mengapa, meski himbauan toleransi itu sering diucapkan di mana-mana dan setiap saat, kita masih sering menjumpai orang atau kelompok tertentu yang melakukan tindak kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Dari kalangan kita misalnya, jangankan terhadap umat dari agama lain, kepada saudaranya dari sesama muslim pun kadang tak segan-segan melontarkan kata-kata “KAFIR”, “sesat”, “halal darahnya”, dan sebagainya. Padahal, sebelumnya, sudahkah mereka saling berdialog? Selain itu, jangankan masyarakat lapisan bawah, dikalangan elit intelektual pun tak jarang kita menemukan sosok-sosok partisan golongan.
Untuk itu, sampai kini, betapa idealnya jika keadaran bertoleransi itu tidak sekadar tertanam pada ucapan belaka, tapi ditunjukkan dalam tindakan nyata, karena, toleransi yang hanya diucapkan nyaris tak ada gunanya. Tegasnya, seseorang telah berbohong besar ketika ia menyatakan bertoleransi, tetapi tidak kelihatan di dalam perbuatannya. Mengamati kenyataan ini, seakan-akan wajar di era multikultural seperti tanah air kita. Wallau A’lam Bishawab.