Bahaya Aborsi
Ada 1001 alasan melakukan aborsi yakni
proses di mana seorang wanita yang tengah mengandung memaksakan diri sengaja
mengeluarkan janin yang ada di rahimnya sebelum waktunya. Dan tentu saja, janin
tersebut akan lahir—atau dipaksa lahir—dalam keadaan tak bernyawa lantaran
sudah terlebih dulu dibunuh dalam kandungannya.
Lazimnya aborsi dilakukan jika ternyata
kehamilan tersebut mengancam jiwa perempuan yang mengandungnya; tetapi banyak
pelaku aborsi yang tega membunuh buah hati karena hamil di luar nikah, diperkosa,
tidak sanggup lagi memiliki seorang anak, dan pelbagai alasan lainnya.
Padahal, menurut Brian Clowes, Ph.D,
dalam buku bertajuk “Fact of Life”, aborsi tak sekadar mengakitban kematian
janin tetapi juga mengancam keselamatan wanita yang mengandung.
Ya, wanita yang melakukan aborsi dapat tewas karena pendarahan hebat; pembiusan
yang gagal; kandungan yang terinfeksi; rahim yang tersobek atau Uterine
Perforation. Selain itu, mereka juga berisiko mengalami kerusakan pada leher
rahim yang menyebabkan cacat pada anak berikutnya; kanker payudara, indung
telur, leher rahim, dan hati; mengidap kelainan pada plasenta yang (lagi-lagi)
menyebabkan cacat pada anak berikutnya; kemandulan; dan menderita infeksi pada
rongga panggul dan lapisan rahim.
Sebetulnya apa yang terjadi pada janin
saat proses aborsi dilakukan?
Pada kehamilan muda, di mana usia janin masih sangat kecil, aborsi dilakukan
dengan cara menggunakan alat penghisap (suction). Sang anak yang masih sangat
lembut langsung terhisap dan hancur berantakan. Saat dikeluarkan, dapat dilihat
cairan merah berupa gumpalan-gumpalan darah dari janin yang baru dibunuh
tersebut.
Pada kehamilan lebih lanjut yakni saat
kehamilan mencapai 1 sampai 3 bulan, bagian-bagian tubuh janin mulai terbentuk.
Aborsi dilakukan dengan cara menusuk janin tersebut dengan menggunakan semacam
tang khusus (cunam abortus). Usai ditusuk, tubuh janin dihancur-hancurkan,
begitu pula dengan bagian tulangnya agar mudah dikeluarkan dari kandungan.
Dalam klinik aborsi, dapat dilihat potongan-potongan bayi yang dihancurkan ini.
Ada potongan tangan, potongan kaki, potongan kepala dan bagian-bagian tubuh
lain yang mungil. Bisakah Anda membayangkan anak yang belum mengenal dosa ini
mati dengan cara yang begitu mengerikan?
Pada aborsi dengan kehamilan 3 sampai 6
bulan, janin sudah semakin besar dan bagian-bagian tubuhnya sudah terlihat
jelas. Jantungnya sudah berdetak, tangannya sudah bisa menggenggam. Tubuhnya
sudah bisa merasakan sakit, karena jaringan syarafnya sudah terbentuk dengan
baik.
Pada fase ini, aborsi dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan suntikan maut
(saline) pada janin tersebut. Cairan ini akan membakar kulit bayi tersebut
secara perlahan-lahan, menyesakkan pernafasannya, dan akhirnya setelah
menderita selama berjam-jam sampai satu hari, ia pun meregang nyawa. Selama
proses ini dilakukan, janin akan berontak, mencoba berteriak dan jantungnya
berdetak keras.
Sedangkan pada aborsi yang dilakukan
pada kehamilan besar yakni 6-9 bulan di mana janin sudah terbentuk dengan jelas—wajahnya
sudah terlihat, begitu pula dengan bagian mata, hidung, bibir dan telinganya
yang mungil, dan jari-jarinya juga sudah menjadi lebih jelas serta otak yang
berfungsi baik—, aborsi dilakukan dengan cara mengeluarkan bayi tersebut
hidup-hidup untuk dibunuh.
Semua proses ini seringkali tidak
disadari oleh para wanita calon ibu yang melakukan aborsi. Mereka merasa bahwa
aborsi itu cepat dan tidak sakit lantaran berada di bawah pengaruh obat bius.
Namun tidak demikian halnya dengan janin yang ada di dalam kandungan. Ya, bagi
mereka, proses aborsi adalah sesuatu yang menyakitkan, mengerikan, dan tidak
manusiawi.
Aborsi tidak hanya mematikan nyawa
seorang janin, melainkan juga berisiko tinggi mengancam jiwa wanita yang
melakukannya—belum lagi risiko gangguan kesehatan lainnya.
Pada wanita yang melakukan metode
penyedotan (Suction Curettage)—di mana mesin penyedot bertenaga kuat dengan
ujung tajam dimasukkan ke dalam rahim lewat mulut rahim yang sengaja dimekarkan
untuk membuat tubuh janin berantakan dan ari-ari (plasenta) terlepas dari
dinding rahim—ia berisiko menderita robek rahim yang disebabkan salah sedot.
Jika itu terjadi, maka wanita itu akan mengalami pendarahan hebat yang dapat
berujung pada kematian; terpaksa menjalani pengangkatan rahim; dan akan terkena
radang jika masih ada sisa-sisa plasenta atau bagian dari janin yang tertinggal
di dalam rahim.
Sedangkan pada teknik dilatasi dan
kerokan, di mana mulut rahim dibuka atau dimekarkan dengan paksa untuk
memasukkan pisau baja yang tajam dan menyebabkan bagian tubuh janin terpotong
berkeping-keping dan plasenta dikerok dari dinding rahim, maka pasien akan
kehilangan darah yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding teknik penyedotan.
Ia juga dapat menderita perobekan dan radang pada rahim.
Aborsi juga dapat dilakukan dengan
menelan Pil RU 486 atau yang dikenal juga sebagai ‘pil aborsi Prancis”. Pil ini
mengandung dua hormon sintetik yaitu mifepristone dan misoprostol, untuk secara
kimiawi menginduksi kehamilan usia 5-9 minggu. Kerja RU 486 adalah memblokir
hormon progesteron yang berfungsi vital untuk menjaga jalur nutrisi ke plasenta
tetap lancar. Karena pemblokiran ini, maka janin tidak mendapatkan makanannya
lagi, menjadi kelaparan, dan mati.
Usai janin mati, pasien akan mengeluarkan
janin dengan bantuan paramedis—tetapi banyak juga di antara mereka yang memilih
mengeluarkan janin di rumah atau di tempat-tempat lain.
Efek lain dari penggunaan pil ini yakni
pendarahan hebat, pusing-pusing, muntah-muntah, rasa sakit hingga kematian. Sedikitnya
seorang wanita Prancis meninggal sedangkan beberapa lainnya mengalami serangan
jantung. Dilaporkan, RU 486 juga dapat mempengaruhi kehamilan selanjutnya,
yaitu kemungkinan keguguran spontan dan cacat pada bayi yang dikandung.
Prosedur dengan MTX sama dengan RU 486,
hanya saja obat ini disuntikkan ke dalam badan. MTX bekerja dengan menekan
pertumbuhan pesat trophoblastoid—selaput yang menyelubungi embrio yang juga
merupakan cikal bakal plasenta.
MTX menghancurkan integrasi dari
lingkungan yang menopang, melindungi dan menyuburkan pertumbuhan janin, dan
karena kekurangan nutrisi, maka janin menjadi mati. Kemudian, tablet
misoprostol dimasukkan ke dalam kelamin wanita hamil itu untuk memicu terlepasnya
janin dari rahim.
Terkadang, hal ini terjadi beberapa jam
setelah masuknya misoprostol, tetapi sering juga terjadi perlunya penambahan
dosis misoprostol. Hal ini membuat cara aborsi dengan menggunakan suntikan MTX
dapat berlangsung berminggu-minggu. Si wanita hamil itu akan mendapatkan
pendarahan selama berminggu-minggu (42 hari dalam sebuah studi kasus), bahkan
terjadi pendarahan hebat. Sedangkan janin dapat gugur kapan saja.
Efek samping yang tercatat dalam studi
kasus adalah sakit kepala, rasa sakit, diare, penglihatan yang menjadi kabur,
dan yang lebih serius adalah depresi sumsum tulang belakang, kekuragan darah,
kerusakan fungsi hati, dan sakit paru-paru.
Metode dilatasi dan evakuasi digunakan
untuk membuang janin hingga usia 24 minggu. Metode ini sejenis dengan D&C,
hanya dalam D&E digunakan tang penjepit (forsep) dengan ujung pisau tajam
untuk merobek-robek janin. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga seluruh
tubuh janin dikeluarkan dari rahim. Karena pada usia kehamilan ini tengkorak
janin sudah mengeras, maka tengkorak ini perlu dihancurkan supaya dapat
dikeluarkan dari rahim. Jika tidak berhati-hati dalam pengeluarannya, potongan
tulang-tulang yang runcing mungkin dapat menusuk dinding rahim dan menimbulkan
luka rahim.
Pada metode racun garam (saline) , jarum
disuntikkan ke perut si wanita dan 50-250 ml (kira-kira secangkir) air ketuban
dikeluarkan, diganti dengan larutan konsentrasi garam. Janin yang sudah mulai
bernafas, menelan garam dan teracuni. Larutan kimia ini juga membuat kulit
janin terbakar dan memburuk. Biasanya, setelah kira-kira satu jam, janin akan
mati. Kira-kira 33-35 jam setelah suntikan larutan garam itu bekerja, si wanita
hamil itu akan melahirkan anak yang telah mati dengan kulit hitam karena
terbakar. Suntikan larutan garam ini juga memberikan efek samping pada wanita
pemakainya yang disebut “Konsumsi Koagulopati” (pembekuan darah yang tak
terkendali diseluruh tubuh), juga dapat menimbulkan pendarahan hebat dan efek
samping serius pada sistim syaraf sentral. Serangan jantung mendadak, koma,
atau kematian mungkin juga dihasilkan oleh suntikan saline lewat sistim
pembuluh darah.
Sumber: Susanairna Member PTC Duitbux