Psikologi
Psikologi
adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perilaku dan kognisi
manusia. Menurut asal katanya, psikologi
berasal dari bahasa Yunani Kuno: "ψυχή" (Psychē
yang berarti jiwa) dan "-λογία" (-logia yang artinya ilmu)
sehingga secara etimologis, psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang
mempelajari tentang jiwa.
Sejarah Perkembangan Psikologi
1. Psikologi Sebagai Bagian dari Filsafat dan
Ilmu Faal
Sebelum 1879, psikologi dianggap sebagai bagian dari filsafat atau ilmu faal.
Pada mulanya ahli-ahli filsafat dari zaman Yunani Kuno-lah yang mulai
memikirkan gejala-gejala kejiwaan. Saat itu belum ada pembuktian-pembuktian
secara empiris atau ilmiah. Mereka mencoba menerangkan gejala-gejala kejiwaan
melalui mitologi. Cara pendekatan seperti itu disebut sebagai cara pendekatan
yang naturalistik.
Di antara sarjana Yunani yang menggunakan
pendekatan naturalistik adalah Thales (624-548 SM) yang sering disebut sebagai
Bapak Filsafat. Ia meyakini bahwa jiwa dan hal-hal supernatural lainnya tidak
ada karena sesuatu yang ada harus dapat diterangkan dengan gejala alam (natural
phenomenon). Ia pun percaya bahwa segala sesuatu berasal dari air dan karena
jiwa tidak mungkin dari air maka jiwa dianggapnya tidak ada. Tokoh lainnya
adalah Anaximander (611-546 SM) yang mengatakan bahwa segala sesuatu berasal
dari sesuatu yang tidak tentu, sementara Anaximenes (abad 6 SM) mengatakan
bahwa segala sesuatu berasal dari udara. Tokoh yang tak kalah pentingnya adalah
Empedocles, Hippocrates, dan Democritos.
Empedocles (490-430 SM) mengatakan bahwa ada
empat elemen besar dalam alam semesta, yaitu bumi/tanah, udara, api, dan air.
Manusia terdiri dari tulang, otot, dan usus yang merupakan unsur dari tanah;
cairan tubuh merupakan unsur dari air; fungsi rasio dan mental merupakan unsur
dari api; sedangkan pendukung dari elemen-elemen atau fungsi hidup adalah
udara. Berdasarkan pada pandangan Empedochles, Hipocrates (460-375 SM) yang
dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran, menyatakan bahwa dalam diri manusia
terdapat empat cairan tubuh yang memiliki kesesuaian sifat dengan keempat
elemen dasar tersebut.
Berdasarkan komposisi cairan yang ada dalam
tubuh manusia tersebut maka Hipocrates membagi manusia dalam empat golongan,
yaitu:
• Sanguine, orang yang mempunyai kelebihan
(terlalu banyak ekses) darah dalam tubuhnya mempunyai temperamen penggembira.
• Melancholic, terlalu banyak sumsum hitam,
bertemperamen pemurung.
• Choleric, terlalu banyak sumsum kuning, bertemperamen
semangat dan gesit.
• Plegmatic, terlalu banyak lendir dan
bertemperamen lamban.
Democritus (460-370 SM) berpendapat bahwa
seluruh realitas yang ada di dunia ini terdiri dari partikel-partikel yang tidak
dapat dibagi lagi yang oleh Einstein kemudian diberi nama “atom”. Beratus-ratus
tahun sesudah Democritus prinsip tersebut masih diikuti oleh beberapa sarjana,
antara lain I.P. Pavlov dan J.B. Watson yang sama-sama berpendapat bahwa ‘atom’
dari jiwa adalah refleks-refleks.
Tokoh-tokoh Yunani kuno tersebut di atas pada
dasarnya menganggap bahwa jiwa adalah satu dengan badan. Jiwa dan badan berasal
dari unsur-unsur yang sama dan tunduk pada hukum-hukum yang sama (pandangan
monoisme). Selain pandangan monoisme, tumbuh pula pandangan dualisme, yaitu
pandangan yang memisahkan jiwa dari badan, jiwa tidak sama dengan badan, dan
masing-masing tunduk pada peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang terpisah.
Tokoh-tokoh terkenal yang menganut pandangan dualisme antara lain: Socrates
(469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).
Socrates berpandangan bahwa pada setiap
manusia terpendam jawaban mengenai berbagai persoalan dalam dunia nyata.
Masalahnya adalah kebanyakan manusia tidak menyadarinya. Oleh karena itu, perlu
ada orang lain—semacam bidan—yang membantu melahirkan sang ‘Ide’ dari dalam
kalbu manusia. Socrates mengembangkan metode tanya jawab untuk menggali
jawaban-jawaban terpendam mengenai berbagai persoalan. Dengan metode tanya jawab
yang disebut “Socratic Method” itu akan timbul pengertian yang disebut
“Maieutics” (menarik keluar seperti yang dilakukan oleh bidan). Maieutics ini
kemudian ditumbangkan oleh R. Rogers tahun 1943 menjadi teknik dalam
psikoterapi yang disebut “Non Directive Techniques”, suatu teknik yang
digunakan oleh psikolog atau psikoterapis untuk menggali persoalan-persoalan
dalam diri pasien sehingga ia menyadari sendiri persoalan-persoalannya tanpa
terlalu diarahkan oleh psikolog atau psikoterapisnya. Socrates menekankan
pentingnya pengertian tentang “diri sendiri” bagi setiap manusia sehingga
menurutnya adalah kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri
terlebih dahulu kalau ia ingin mengerti tentang hal-hal di luar dirinya.
Semboyannya yang terkenal adalah “belajar yang sesungguhnya pada manusia adalah
belajar tentang manusia.
Sementara Plato, murid dan pengikut setia
Socrates dan dianggap sebagai penganut dualisme yang sebenar-benarnya,
mengatakan bahwa dunia kejiwaan berisi ide-ide yang berdiri sendiri terlepas
dari pengalaman hidup sehari-hari. Pada orang dewasa dan intelektual, mereka
dapat membedakan mana jiwa dan mana badan. Akan tetapi, pada anak-anak jiwa
masih bercampur dengan badan, belum bisa memisahkan Ide dari benda-benda
kongkrit. Jiwa yang berisi Ide-Ide ini diberi nama “Psyche”. Selain itu, Plato
juga meyakini bahwa tiap-tiap orang telah ditetapkan status dan kedudukannya di
masyarakat sejak lahir apakah ia seorang filsuf, prajurit, atau pekerja. Ia
percaya bahwa tiap orang dilahirkan dengan kekhususan tersendiri, tidak sama
antara satu sama lainnya. Dengan demikian, selain dianggap sebagai penganut
paham Determinisme atau Nativisme, ia pun dianggap sebagai tokoh pemula dari
paham “individual differences.” Dalam perkembangan psikologi selanjutnya, paham
individual differences ini membawa para sarjana ke arah penemuan alat-alat pemeriksaan
psikologi (psikotes).
Kalau Plato dianggap sebagai seorang
rasionalis yang percaya bahwa segala sesuatu berasal dari ide-ide yang
dihasilkan rasio maka Aristoteles (385-322 SM), murid Plato, berkeyakinan bahwa
segala sesuatu yang berbentuk kejiwaan (form) harus menempati sesuatu wujud
tertentu (matter). Wujud ini pada hakikatnya merupakan pernyataan atau ekspresi
dari jiwa. Tuhanlah satu-satunya yang tanpa wujud, hanya form saja. Aristoteles
sering disebut sebagai Bapak Psikologi Empiris karena menurutnya segala sesuatu
harus bertitik tolak dari realita, yaitu matter. Matter-lah sumber utama
pengatahuan. Pandangan dan teori-teori Aristoteles tentang Psikologi dapat
dilihat dalam bukunya yang terkenal De Anima, yang sesungguhnya merupakan buku
tentang ilmu hewan komparatif dan biologi.
Dalam buku itu ia mengatakan bahwa setiap
benda di dunia ini mempunyai dorongan untuk tumbuh dan menjadi sesuatu sesuai
dengan tujuan yang sudah terkandung dalam benda itu sendiri. Aristoteles
selanjutnya membedakan antara hule dan morphe. Hule (Noes Photeticos) adalah
“yang terbentuk”. sedangkan Morphe (Noes Poeticos) adalah “yang membentuk”.
Benda dalam alam tidak tumbuh dan berkembang begitu saja, tetapi menjadi atau
diperkembangkan menjadi sesuatu. Sebelum benda itu terwujud benda itu berupa
kemungkinan. Selanjutnya Aristoteles membedakan tiga macam form, yaitu: Plant,
yang mengontrol fungsi-fungsi vegetatif; Animal, dapat dilihat dalam
fungsi-fungsi seperti: mengingat, mengharap, dan persepsi; Rasional, yang
memungkinkan manusia malakukan penalaran (reasoning) dan membentuk
konsp-konsep. Khusus pada manusia, dorongan untuk tumbuh ini berbentuk dorongan
untuk merealisasikan diri (self realization) yang disebut entelechi. Menurut
Aristoteles fungsi jiwa dibagi dua, yaitu kemampuan untuk mengenal dan
kemampuan berkehendak. Pandangan ini dikenal sebagai “dichotomi”.
Berabad-abad setelah zaman Yunani Kuno,
Psikologi masih merupakan bagian dari Filsafat. Pada masa Renaissance, di
Francis muncul Rene Decartes (1596-1650) yang terkenal dengan teori tentang
“kesadaran”, sementara di Inggris muncul tokoh-tokoh seperti John Locke
(1623-1704), George Berkeley (1685-1753), James Mill (1773-1836), dan anaknya
John Stuart Mill (1806-1873), yang semuanya itu dikenal sebagai tokoh-tokoh
aliran Asosianisme.
Dalam perkembangan Psikologi selanjutnya, peran sejumlah sarjana ilmu Faal yang
juga menaruh minat terhadap gejala-gejala kejiwaan tidak dapat diabaikan.
Tokohnya antara lain: C. Bell (1774-1842), F. Magendie (1785-1855), J.P. Muller
(1801-1858), P. Broca (1824-1880), dan sebagainya. Nama seorang sarjana Rusia,
I.P. Pavlov (1849-1936), tampaknya perlu dicatat secara khusus karena dari
teori-teorinya tentang refleks kemudian berkembang aliran Behaviorisme, yaitu
aliran dalam psikologi yang hanya mau mengakui tingkah laku yang nyata sebagai
objek studinya dan menolak anggapan sarjana lain yang mempelajari juga tingkah
laku yang tidak tampak dari luar. Selain itu, peranan seorang dokter berdarah
campuran Inggris-Skotlandia bernama William McDaugall (1871-1938) perlu pula
dikemukakan. Ia juga telah memberi inspirasi kepada aliran Behaviorisme di
Amerika dengan teori-teorinya yang dikenal dengan nama “Purposive Psychology”.
Sementara para sarjana Filasafat maupun ilmu
Faal berusaha untuk menerangkan gejala-gejala kejiwaan secara ilmiah murni,
muncul pula orang-orang yang secara spekulatif mencoba untuk menerangkan gejala-gejala
kejiwaan dari segi lain. Diantara mereka adalah F.J. Gall (1785-1828) yang
mengemukakan bahwa jiwa manusia dapat diketahui dengan cara meraba tengkorak
kepala orang tersebut. Teori Gall dikembangkan dari pandangan Psikologi
Fakultas (Faculty Psychology) yang dikemukakan seorang tokoh gereja bernama St.
Agustine (354-430). Menurut Agustine, dengan mengeksplorasi kesadaran melalui
metode “introspeksi diri”, dalam jiwa terdapat bagian-bagian atau fakultas
(faculties). Fakultas tersebut antara lain: ingatan, imajinasi, indera,
kemauan, dan sebagainya. Menurut Gall, karena setiap fakultas kejiwaan
dicerminkan pada salah satu bagian tertentu di tengkorak kepala maka dengan
mengetahui bagian-bagian tengkorak mana yang menonjol kita akan mengetahui
fakultas-fakultas kejiwaan mana yang menonjol pada orang tertentu sehingga kita
dapat mengetahui pula keadaan jiwanya. Teori dari Gall tersebut dikenal dengan
Phrenologi. Teori yang seolah-olah ilmiah ini pada dasarnya hanya bersifat
ilmiah semu (pseudo science). Metote lainnya yang juga bersifat ilmiah semu
antara lain:
Phiognomi (Ilmu Wajah/Raut Muka), Palmistri
(Ilmu Rajah Tangan), Astrologi (Ilmu Perbintangan), Numerologi (Ilmu
Angka-angka), dan sebagainya.
2. Psikologi Sebagai Ilmu yang Berdiri Sendiri
Pada akhir abad ke-19 terjadilah babak baru dalam sejarah Psikologi. Pada tahun
1879, Wilhem Wundt (Jerman, 1832-1920) mendirikan laboratorium Psikologi
pertama di Leipzig yang menandai titik awal Psikologi sebagai suatu ilmu yang
berdiri sendiri. Sebagai tokoh Psikologi Eksperimental, Wundt memperkenalkan
metode Introspeksi yang digunakan dalam eksperimen-eksperimennya. Ia dikenal
sebagai tokoh penganut Strukturalisme karena ia mengemukakan suatu teori yang
menguraikan struktur dari jiwa. Wundt percaya bahwa jiwa terdiri dari
elemen-elemen (Elementisme) dan ada mekanisme terpenting dalam jiwa yang
menghubungkan elemen-elemen kejiwaan satu sama lainnya sehingga membentuk suatu
struktur kejiwaan yang utuh yang disebut asosiasi. Oleh karena itu, Wundt juga dianggap
sebagai tokoh Asosianisme.
Edward Bradford Titchener (1867-1927) mencoba menyebarluaskan ajaran-ajaran
Wundt ke Amerika. Akan tetapi, orang Amerika yang terkenal praktis dan
pragmatis kurang suka pada teori Wundt yang dianggap terlalu abstrak dan kurang
dapat diterapkan secara langsung dalam kenyataan. Mereka kemudian membentuk
aliran sendiri yang disebut Fungsionalisme dengan tokoh-tokohnya antara lain:
William James (1842-1910) dan James Mc Keen Cattel (1866-1944). Aliran ini
lebih mengutamakan fungsi-fungsi jiwa dari pada mempelajari strukturnya.
Ditemukannya teknik evaluasi psikologi (sekarang psikotest) oleh Cattel
merupakan bukti betapa pragmatisnya orang-orang Amerika.
Meskipun sudah menekankan pragmatisme, namun
aliran Fungsionalisme masih dianggap terlalu abstrak bagi segolongan sarjana
Amerika. Mereka menghendaki agar Psikologi hanya mempelajari hal-hal yang
benar-benar objektif saja. Mereka hanya mau mengakui tingkah laku yang nyata
(dapat dilihat dan diukur) sebagai objek Psikologi (Behaviorisme). Pelopornya
adalah John Broades Watson (1878-1958) yang kemudian dikembangkan oleh Edward
Chase Tolman (1886-1959) dan B.F. Skinner (1904).
Selain di Amerika, di Jerman sendiri ajaran
Wundt mulai mendapat kritik dan koreksi-koreksi. Salah satunya dari Oswald
Kulpe (1862-1915), salah seorang muridnya yang kurang puas dengan ajaran Wundt
dan kemudian mendirikan alirannya sendiri di Wurzburg. Aliran Wurzburg menolak
anggapan Wundt bahwa berpikir itu selalu berupa image (bayangan dalam alam
pikiran). Kulpe berpendapat, pada tingkat berpikir yang lebih tinggi apa yang
dipikirkan itu tidak lagi berupa image, tapi ada pikiran yang tak terbayangkan
(imageless thought).
Di Eropa muncul juga reaksi terhadap Wundt
dari aliran Gestalt. Aliran Gestalt menolak ajaran elementisme Wundt dan
berpendapat bahwa gejala kejiwaan (khususnya persepsi, yang banyak diteliti
aliran ini) haruslah dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh (suatu
gestalt) yang tidak terpecah dalam bagian-bagian. Diantara tokohnya adalah Max
Wertheimer (1880-1943), Kurt Koffka (1886-1941), Wolfgang Kohler (1887-1967)
.Di Leipzig, pada tahun 1924 Krueger memperkenalkan istilah Ganzheit (berasal
dari kata da Ganze yang berarti keseluruhan). Meskipun istilah Ganzheit masih
dianggap sama dengan istilah Gestalt dan aliran ini sering tidak dianggap
sebagai aliran tersendiri, namun menurut tokohnya, Krueger, Ganzheit tidak sama
dengan Gestalt dan merupakan perkembangan dari psikologi Gestalt. Ia
berpendapat bahwa psikologi Gestalt terlalu menitikberatkan kepada masalah
persepsi objek, padahal yang terpenting adalah penghayatan secara menyeluruh
terhadap ruang dan waktu, bukan persepsi saja atau totalitas objek-objek saja.
Perkembangan lebih lanjut dari psikologi
Gestalt adalah munculnya “Teori Medan (Field Theory)” dari Kurt Lewin
(1890-1947). Mulanya Lewin tertarik pada faham Gestalt, tetapi kemudian ia
mengeritiknya karena dianggap tidak adekuat. Namun demikian, berkat Lerwin,
sebagai perkembangan lebih lanjut di Amerika Serikat lahir aliran “Psikologi
Kognitif” yang merupakan perpaduan antara aliran Behaviorisme yang tahun
1940-an sudah ada di Amerika dengan aliran Gestalt yang dibawa oleh Lewin.
Aliran psikologi Kognitif sangat menitikberatkan proses-proses sentral (seperti
sikap, ide, dan harapan) dalam mewujudkan tingkah laku. Secara khusus, hal-hal
yang terjadi dalam alam kesadaran (kognisi) dipelajari oleh aliran ini sehingga
besar pengaruhnya terutama dalam mempelajari hubungan antar manusia (Psikologi
Sosial). Diantara tokohnya adalah F. Heider dan L. Fertinger.
Akhirnya, lahirnya aliran Psikoanalisa yang
besar pengaruhnya dalam perkembangan psikologi hingga sekarang, perlu mendapat
perhatian khusus. Meskipun peranan beberapa dokter ahli jiwa (psikiater),
seperti Jean Martin Charcot (1825-1893) dan Pierre Janet 1859-1947) tidak
kurang pentingnya dalam menumbuhkan aliran ini, namun Sigmund Freud-lah
(1856-1939) yang dianggap sebagai tokoh utama yang melahirkan Psikoanalisa.
Karena Psikoanalisa tidak hanya berusaha menjelaskan segala sesuatu yang tampak
dari luar saja, tetapi secara khusus berusaha menerangkan apa yang terjadi di
dalam atau di bawah kesadaran manusia, maka Psikoanalisa dikenal juga sebagai
“Psikologi Dalam (Depth Pshology)”.
Metodologi Psikologi
Beberapa metodologi dalam psikologi, di
antaranya sebagai berikut :
1.Metodologi Eksperimental
Cara ini dilakukan biasanya di dalam laboratorium
dengan mengadakan berbagai eksperimen. Peneliti mempunyai kontrol sepenuhnya
terhadap jalannya suatu eksperimen. Yaitu menentukan akan melakukan apa pada
sesuatu yang akan ditelitinya, kapan akan melakukan penelitian, seberapa sering
melakukan penelitiannya, dan sebagainya. Pada metode eksperimental, maka sifat
subjektivitas dari metode introspeksi akan dapat diatasi. Pada metode instrospeksi
murni hanya diri peneliti yang menjadi objek. Tetapi pada instrospeksi
eksperimental jumlah subjek banyak, yaitu orang - orang yang dieksperimentasi
itu. Dengan luasnya atau banyaknya subjek penelitian maka hasil yang didapatkan
akan lebih objektif.
2.Observasi Ilmiah
Pada pengamatan ilmiah, suatu hal pada
situasi-situasi yang ditimbulkan tidak dengan sengaja. Melainkan dengan proses
ilmiah dan secara spontan. Observasi alamiah ini dapat diterapkan pula pada
tingkah laku yang lain, misalnya saja : tingkah laku orang-orang yang
berada di toko serba ada, tingkah laku pengendara kendaraan bermotor dijalan
raya, tingkah laku anak yang sedang bermain, perilaku orang dalam bencana alam,
dan sebagainya.
3.Sejarah Kehidupan (metode biografi)
Sejarah kehidupan seseorang dapat merupakan
sumber data yang penting untuk lebih mengetahui “jiwa” orang yang bersangkutan,
misalnya dari cerita ibunya, seorang anak yang tidak naik kelas mungkin diketahui
bahwa dia bukannya kurang pandai tetapi minatnya sejak kecil memang dibidang
musik sehingga dia tidak cukup serius untuk mengikuti pendidikan di sekolahnya.
Dalam metode ini orang menguraikan tentang keadaaa, sikap - sikap ataupun sifat
lain mengenai orang yang bersangkutan. Pada metode ini disamping mempunyai
keuntungan juga mempunyai kelemahan, yaitu tidak jarang metode ini bersifat
subjektif.
4.Wawancara
Wawancara merupakan tanya jawab si pemeriksa
dan orang yang diperiksa. Agar orang diperiksa itu dapat menemukan isi hatinya
itu sendiri, pandangan-pandangannya, pendapatnya dan lain-lain sedemikian rupa
sehingga orang yang mewawancarai dapat menggali semua informasi yang
dibutuhkan.Baik angket atau interview keduanya mempunyai persamaan, tetapi berbeda
dalam cara penyajiannya. Keuntungan interview dibandingkan dengan angket yaitu:
-Pada interview apabila terdapat hal yang
kurang jelas maka dapat diperjelas
-interviwer(penanya) dapat menyesuaikan dengan
suasana hati interviwee ( responden yang ditanyai)
-Terdapat interaksi langsung berupa face to
facesehingga diharapkan dapat membina hubungan yang baik saat proses interview
dilakukan.
5.Angket
Angket merupakan wawancara dalam bentuk
tertulis. Semua pertanyaan telah di susun secara tertulis pada lembar-lembar
pertanyaan itu, dan orang yang diwawancarai tinggal membaca pertanyaan yang
diajukan, lalu menjawabnya secara tertulis pula. Jawaban-jawabannya akan
dianalisis untuk mengetahui hal-hal yang diselidiki.
6.Pemeriksaan Psikologi
Dalam bahasa populernya pemeriksaan psikologi
disebut juga dengan psikotes Metode ini menggunakan alat-alat psikodiagnostik
tertentu yang hanya dapat digunakan oleh para ahli yang benar-benar sudah
terlatih. alat-alat itu dapat dipergunakan unntuk mengukur dan untuk mengetahui
taraf kecerdasan seseorang, arah minat seseorang, sikap seseorang, struktur
kepribadian seeorang, dan lain-lain dari orang yang diperiksa itu.
7.Metode Analisis Karya
Dilakukan dengan cara menganalisis hasil karya
seperti gambar - gambar, buku harian atau karangan yang telah dibuat. Hal ini
karena karya dapat dianggap sebagai pencetus dari keadaan jiwa seseorang.
8.Metode Statistik
Umumnya digunakan dengan cara mengumpulkan
data atau materi dalam penelitian lalu mengadakan penganalisaan terhadap hasil;
yang telah didapat.
Kajian Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang luas dan ambisius,
dilengkapi oleh biologi dan ilmu saraf pada perbatasannya dengan ilmu alam dan
dilengkapi oleh sosiologi dan anthropologi pada perbatasannya dengan ilmu
sosial. Beberapa kajian ilmu psikologi diantaranya adalah:
1. Psikologi perkembangan
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari
perkembangan manusia dan faktor-faktor yang membentuk prilaku seseorang sejak
lahir sampai lanjut usia. Psikologi perkembangan berkaitan erat dengan psikologi
sosial, karena sebagian besar perkembangan terjadi dalam konteks adanya interaksi
sosial. Dan juga berkaitan erat dengan psikologi kepribadian, karena
perkembangan individu dapat membentuk kepribadian khas dari individu tersebut
2. Psikologi sosial
Bidang ini mempunyai 3 ruang lingkup,
yaitu :
studi tentang pengaruh sosial terhadap proses
individu, misalnya : studi tentang persepsi, motivasi proses belajar, atribusi
(sifat)
studi tentang proses-proses individual
bersama, seperti bahasa, sikap sosial, perilaku meniru dan lain-lain
studi tentang interaksi kelompok, misalnya kepemimpinan,
komunikasi hubungan kekuasaan, kerjasama dalam kelompok, dan persaingan.
3. Psikologi kepribadian
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari
tingkah laku manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, psikologi
kepribadian berkaitan erat dengan psikologi perkembangan dan psikologi sosial,
karena kepribadian adalah hasil dari perkembangan individu sejak masih kecil
dan bagaimana cara individu itu sendiri dalam berinteraksi sosial dengan
lingkungannya.
4. Psikologi kognitif
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari
kemampuan kognisi, seperti: Persepsi, proses belajar, kemampuan memori, atensi,
kemampuan bahasa dan emosi.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi
http://sandri09a.blogspot.com/2012/10/sejarah-perkembangan-psikologi.html