Rapat Dewan
Gubernur Bank Indonesia, pekan lalu, memberi sinyal pelonggaran kebijakan
moneter. Di tengah kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian,
sinyal itu menjadi penting. Sebab, menjadi indikator bahwa tekanan ekonomi
makro makin berkurang.
Kebijakan moneter
Bank Indonesia (BI) dalam dua tahun terakhir cenderung ketat. Suku bunga acuan
bertahan di level 7,5 persen selama beberapa bulan dengan suku bunga penempatan
5,5 persen per tahun dan suku bunga pinjaman 8 persen peer tahun.
Kunci pernyataan
Dewan Gubernur BI mengenai peluang pelonggaran itu terutama disebabkan inflasi
yang terus turun dan defisit transaksi berjalan yang berkurang. Inflasi akhir
tahun 2015 diyakini sesuai target BI, yakni di level 3-5 persen, yang mengarah
di bawah 4 persen. Inflasi tahun kalender 2,24 persen dengan peluang deflasi
pada Oktober ini. Adapun defisit transaksi berjalan mengarah ke sekitar 2
persen dari produk domestik bruto (PDB), sedangkan proyeksi semula di level
2,1-2,3 persen PDB.
Jika stabilitas
pasar keuangan tetap tejaga serta inflasi dan defisit transaksi berjalan sesuai
dengan perkiraan terbaru, peluang melonggarkan kebijakan moneter terbuka lebar.
Kebijakan moneter yang lebih longgar akan memberikan ruang gerak yang lebih
leluasa pada bank dan sektor riil untuk berekspansi. Kendati bukan satu-satunya
instrumen pendorong perekonomian, kebijakan moneter tetap sangat berpengaruh.
Dengan
kebijakan moneter yang ketat–tercermin dari suku bunga acuan yang tinggi-suku
bunga perbankan juga relatif tinggi. Suku bunga kredit bank yang tinggi
menyebabkan beban tinggi juga bagi sektor riil yang memanfaatkan kredit dari
bank untuk berinvestasi. Jika kebijakan moneter lebih longgar, suku bunga
deposito bank turun sehingga peluang penurunan suku bunga kredit juga terbuka. Dengan
bunga kredit yang lebih rendah, sektor riil memiliki ruang yang cukup lebar
mengoptimalkan arus kas.
Gerak sektor
riil yang makin leluasa dan potensi ekspansi yang lebih besar akan berdampak
pada konsumsi dan investasi. Padahal, konsumsi dan investasi merupakan
pembentuk PDB, selain belanja pemerintah dan neraca ekspor-impor. Diharapkan,
kebijakan moneter yang makin longgar akan menumbuhkan perekonomian.
Pertanyaannya,
kenapa selama ini suku bunga acuan BI tetap tinggi? Pertama, tingkat inflasi
yang relatif tinggi sebelum pemerintah berani mereformasi struktur ekonomi
dengan mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), inflasi melonjak saat harga
BBM naik. Hal ini terjadi berulang. Sebab, beban subsidi yang besar menyebabkan
pemerintah tidak memiliki ruang fiskal untuk mendorong pembangungan
infrastruktur secara masif.
Kedua, defisit
transaksi berjalan yang reelattif tinggi. Jika dikombinasikan dengan inflasi,
stabilitas sistem keuangan indonesia menjadi reentan karena sanat bergantung
pada modal dari luar negeri. Dengan suku bunga acuan yang relatif tinggi,
investor asing akan tetap tertarik menempatkan modal pada instrumen portofolio
di Indonesia. Sebaliknya, jika suku bunga acuan turun-padahal inflasi masih tinggi,
investor pasti angkat kaki karena imbal hasil mereka secara riil, turun. Langkah
ini tentu tidak diharapkan.
Sejauh ini ,
reaksi pasar terhadap rencana pelonggaran kebijakan moneter BI tetap
terkendali. Langkah lain yang juga penting adalah mendorong pasokan valuta
asing (valas) di pasar tunai (spot) domestik dan pasar mendatang (forward). BI dan
sejumlah pihak sudah mendorong insentif berupa diskon bunga penempatan devisa
hasil ekspor (DHE) di perbankan nasional. Hal ini penting karena akan menambah
pasokan valas di pasar domestik. (A Handoko)
Sumber:
Harian Kompas Jum’at 23 Oktober 2015 hal 17
Title : Kebijakan Moneter : Sinyal Pelonggaran
Description : Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, pekan lalu, memberi sinyal pelonggaran kebijakan moneter. Di tengah kondisi ekonomi global yang masih ...