Banyak yang tidak percaya dengan ucapan spontan dari mulut sendiri. Ucapan spontan merupakan letupan hasrat dari dalam diri setiap orang. Ia bersifat motorik. Tak ada orang lain yang mengatur.
Ia bisa menjadi mantra, kutukan dan doa.
Pilihan kata dan kalimat mencerminkan keinginan kuat. Positif maupun negatif.
Kalimat bernada negatif, akan menjadi lubang yang terus digali dari dasar sebuah bangunan. Betapa kuat dinding bangunan itu disusun, namun lubang yang telah digali itu akan menghancurkan susunannya. Pada akhirnya, ambruk.
Lihatlah, para pemimpin besar jatuh karena pikiran dan ucapannya sendiri.
Peresiden RI Pertama, Ir Soekarno, itu kurang hebat apa di jamannya. Bung Karno lantas tumbang dengan titah satu kata 'Nasakom'. Ia ngotot ingin dipuji dunia dengan mantra 'melawan alam' yang ia paksakan itu.
Sebulan sebelum Gus Dur jatuh, saya sering mendapat ajakan demo. Saya tidak mau. Saya katakan saat itu:"Gus Dur tidak usah kau demo. Dia akan jatuh segera!".
Itu terjadi pada tahun 2000. Dan benar, tak lama setelah itu Gus Dur jatuh.
Saat itu ada seorang kawan datang ke kantor kami mengantarkan setumpuk uang. Dia bilang buat biaya mendemo Gus Dur. Tumpukan uang yang menggiurkan yang bisa buat gaji karyawan setahun.
"Secara politik kami tidak sejalan dengan Gus Dur. Tapi buat kami, ini cara yang tidak elok".
Uang itu pun kami kambalikan. Gus Dur jatuh beberapa hari kemudian.
Gus Dur jatuh bukan karena Sidang Istimewa MPR. Ia jatuh karena ucapannya yang menggampangkan segala masalah:"Gitu aja kok repot!".
Jelang 2013 mendadak kita seperti disuguhi makanan bubur. Kadang hangat. Kadang dingin. Bahkan sering berbau basi.
Entah dari mana bubur itu diedarkan ke mana-mana dan dikatakan sebagai makanan sehat dan lezat. Lama-lama jutaan orang tersihir dan mengatakan itulah satu-satunya makanan sehat bergizi yang dibutuhkan negeri ini.
Saya bertanya berulang kali. Akhirnya, tanpa dicari pola itu keluar dengan sendirinya.
Muncullah kata-kata:"Mengurusi macet dan banjir Jakarta itu gampang". Kemudian muncul mantra dua kata "aku rapopo".
Sejak kalimat itu keluar dari mulut seorang walikota, saya catat. Sejak itu saya yakin akan menjadi pola.
Dan ternyata benar. Kalimat bernada menggampangkan masalah terus berulang berikutnya.
Seperti:"Nanti kemacetan Jakata akan beres kalau saya jadi presiden". Faktanya, lihat sendiri.
Meningkat lagi:"Uang ada. Tinggal kerja saja". Faktanya, dalam waktu singkat utang negara nambah beribu trilyun.
Naik ke level berikut:"Nanti bulan September ekonomi akan meroket".
Meroket yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi 7 persen. Faktanya, hingga akhir tahun buku 2016, pertumbuhan ekonomi hanya 5.02 persen atau masih di bawah Timor Leste.
Masih di bawah jauh capaian Presiden SBY yang sering dibilang buruk dan diamini oleh para pendukung Jokowi.
Sejak dua tahun lalu, jauh sebelum hiruk-pikuk Almaidah 51, sudah saya katakan di dinding ini dengan metaforis: "Ahok kamu akan tumbang oleh mulutmu sendiri."
Teman-teman saya banyak yang sinis. Saya dibilang nyinyir.
Mereka tidak salah. Bagaimana bisa Ahok tumbang wong tidak ada calon yang bisa melawan dia. Elektabilitas tembus 70 persen. Itu keyakinan mereka. Media serta lembaga riset seperti terus-terus menerus menciptakan mitos: Ahok tak takkan terkalahkan.
Apa dasar analisis saya?
Kita sudah menemukan pola destruktif pada diri Ahok sejak begitu mewarisi kursi Jokowi. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri yang telah demikian motorik. Semakin hari mulutnya semakin naik tingkat destruktifnya.
Ahok dalam satu bulan bisa "memproduksi" 9.000 ribu berita di berbagai saluran media. Namun, pada saat yang sama dengan sadar ia "memproduksi" rata-rata sebanyak 60% berita negatif tentang dirinya sendiri akibat mulutnya sendiri.
Kalimat:"Ibu Maling...!" Adalah kuasa mantra destruktif yang ganas dari Ahok di awal-awal dia naik jadi Gubernur.
Berlanjut dengan makian dan adu mulut dengan seorang warga DKI saat menghadang Ahok karena ingin keadilan mengenai masalah tanah. Bukan diterima dengan baik, warga Tionghoa ini malah didamprat.
Ucapan Ahok yang ditujukan kepada orang-orang tergusur: "Mereka menangis seperti main sinetron", segera memantul kepada dirinya.
Masih banyak daftar kata destruktif yang muncul sepanjang tahun. Semuanya nir empati.
Begitulah, Ahok jatuh bukan karena orang lain. Tapi karena mulutnya sendiri. Betapapun massifnya infrastrukrur dukungan, ternyata tak dapat membendung kejatuhannya.
Begitulah kuasa kata. Seharusnya ia diucapkan dengan pilihan penuh kesadaran. Utamanya para pemimpin.
Siapa pun dengan mantra kata-katanya dapat menciptakan perubahan. Pilihan berada di tangan Anda: membangun atau merusak (
Anab Afifi)
Sumber: https://www.facebook.com/witri.osman/posts/2325918664147396
Visitors: